Sabtu, 30 November 2019

HEMATOLOGI (KIMIA MEDISINAL)



      hematologi berasal dari bahasa Romawi yaitu hemat yang berarti darah dan ology yang berarti belajar atau mempelajari. Hematology adalah ilmu yang mempelajari aspek anatomi, fisiologi, dan patologi darah. Komponen darah terdiri plasma dan unsur-unsur pembentuk darah yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit (Nurcholis et al., 2013).

Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan morfolog sel-sel darah, serta sumsum tulang. Darah adalah jaringan khusus yang berbeda dengan organ lain, karena berbentuk cairan. Jumlah darah dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total. Empat puluh lima sampai 60% darah terdiri darisel-sel, terutama eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah adalah sebagai mediatransportasi, serta memelihara suhu tubuh dan keseimbangan cairan (Arifin et al, 2015).

Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8 % dari berat badan. Darah terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen berbentuk kurang lebih 45% (eritrosit, leukosit, dan trombosit). Angka (45%) ini dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang didapatkan yang berkisar antara 40 sampai 47 (Erna dan Supriyadi, 2015).

Pemeriksaan hematologi rutin ialah pemeriksaan hematologi yang pada umumnya dilakukan karena sering diminta (rutin). Parameter pemeriksaan hematologi rutin adalah hitung hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, indeks eritrosit, hitung jumlah leukosit dan hitung jumlah trombosit. Pemeriksaan ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah complete blood count (CBC) yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah hitung darah lengkap, sedangkan pemeriksaan darah lengkap yang umum dilakukan di Indonesia adalah pemeriksaan hematologi rutin dengan hitung jenis leukosit dan LED. Jadi, Istilah CBC yang benar merujuk pada pemeriksaan Hematologi Rutin (Gilang, 2017).

    Pemeriksaan panel hematologi (hemogram) terdiri dari leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari hemogram ditambah leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan monosit (Menkes RI, 2011).

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimakah mekanisme pembekuan darah?
2. Jelaskan dampak yang akan terjadi bila kekurangan dan kelebihan darah!
3. Bagaimanakah cara mencegah anemia? Dan kenapa anemia rentan terkena pada wanita?

DAFTAR PUSTAKA


Arifin,H., Agustina dan Z. Rizal. 2015. Pengaruh Pemberian Jus Buah Naga Hylocereus Undatus (Haw) Britt & Rose Terhadap Jumlah Hemoglobin, Eritrosit dan Hematokrit Pada Mencit Putih Betina. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang. 18 (1).


Erna,N dan K.Supriyadi. 2015. Penurunan Jumlah Eritrosit Darah Tepi Akibat Paparan Radiasi Paparan Radiasi Sinar X Dosis Radiografi Periapikal, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, Indonesia.

Gilang, N. 2017. Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar, Edisi 2. Jakarta : Penerbit TIM.

KEMENKES RI, 2011. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.




Jumat, 29 November 2019

ANALGETIK (KIMIA MEDISINAL)


ANALGETIK merupakan zat-zat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan aksi sentral atauperifer tanpa mengganggu kesadaran. Analgetika pada umumya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lain misalnya nyeri pasca bedah dan pasca bersalin, dismenore (nyeri haid) dan lain-lain sampai pada nyeri hebat yang sulit dikendalikan. Hampir semua analgetik ternyata memiliki efek antipiretik dan efek antiinflamasi. Berdasarkan mekanisme kerjanya Analgetik terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu analgetik opioid dan analgetik non-opioid. Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang selain memiliki efek analgetik, juga memiliki efek seperti opium (Gunawan, 2008).
            Asetosal adalah obat nyeri tertua (1899) yang sampai saat ini paling banyak digunakan diseluruh dunia. Zat inin berkhasiat sebagai obat anti-demam dan pada dosis rendah sekali 80 mg berdaya menghambat agregasi trombosit. Pada dosis lebih besar dari normal (>5 gr sehari) obat ini berkhasiat sebagai anti-radang. Obat ini juga banyak digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia untuk pencegah infark kedua setelah terjadi serangan. Hal ini karena daya antitrombotisnya (Tjay dan Rahardja, 2007).

Berikut ini merupakan jenis dan contoh obat analgetik yang paling sering digunakan:
1. Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika
Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papever somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Contoh analgetik narkotik :
v  Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol)
v  Fentanil HCl
v  Morfin HCl
v   Tramadol
v  Petidin
2. Analgetik Non-narkotik
Obat Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat (SSP) atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan atau ketergantungan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Contoh obat Analgesik Non-Narkotik :
v  Ibupropen
v  Paracetamol/acetaminophen
v  Asam Mefenamat
v  naproxen sodium
v  ketoprofen

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme kerja asetosal dalam menghilangkan rasa nyeri?
2. jelaskan efek samping yang dapat di timbulkan pada saat mengkonsumsi obat analgetik!
3. Bagaimana mekanisme kerja obat analgetik secara umum?

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan.G.Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI.  Jakarta.
Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, edisi V. Penerbit PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta.
Wilmana, P.F. & Gan, S. 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam: Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 207-209.

Jumat, 22 November 2019

ANTIKONVULSI ( KIMIA MEDISINAL )


ANTIKONVULSI

Sejarah obat Antikonvulsi pertama yang dipakai untuk mengobat serangan kejang ialah  fenitoin, suatu hidantoin yang ditemukan pada tahun 1938 hingga  sampai saat ini masih dipakai untuk mengendalikan serangan kejang ( Kee dan Hayes, 1996).

Antikonvulsan Merupakan suatu aktivitas yang diberikan oleh senyawa tertentu yang dapat mengobati suatu penyakit yang memiliki gejala kejang seperti epilepsy (Alfathan dan Wathoni, 2019). Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah atau mengobti epilepsi dan bangkitan non-epilesi. Anti Konvulsi merupakan golongan obat yang identik dan sering hanya digunakan pada kasus-kasus kejang karena epileptik. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan Anti Epilepsi ( Tjay dan Rahardja, 2007). 

Mekanisme kerja terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat,letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal di sekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Adanya letupan  depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan (Gunawan, 2007).

Menurut Gunawan (2007), Obat antikonvulsi terbagi menjadi 8 golongan. Empat golongan antikonvulsi mempunyai rumus dengan inti berbetuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu golongan hidantoin, barbiturate, suksinimid dan oksazolidindion. Berikut merupakan 8 golongan an tikonvulsi :
·         Golongan hidantion
·         Golongan barbiturate
·         Golongan oksazolidindion / Trimetadion
·         Golongan suksinimid
·         Golongan karbamazepin
·         Golongan benzodiazepine
·         Golongan asam valproate
 Golongan gabapentin/ Pregabalin

Rumusan Masalah :
1. kenapa sampai sekarang fenitoin masih digunakan sebagai pengendalikan serangan kejang ?
2. Bagaimana interaksi obat antikonvulsan?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat dan efek samping dari obat antikonvulsan?

DAFTAR PUSTKA
Fathan, P dan N. Wathoni. 2019. Review Artikel: Metode Pengujian Aktivitas Antikonvulsan Sebagai Skrining Pengobatan Epilepsi. Jurnal Farmaka. 17(2) :143-149. 
Gunawan, S. G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Kee, J. 1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. EGC, Jakarta.

Rabu, 20 November 2019

ANTIHISTAMIN ( KIMIA MEDISINAL )


ANTIHISTAMIN

A
ntihistamin merupakan obat yang sering dipakai dibidang dermatologi, terutama untuk kelainan kronik dan rekuren. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Antihistamin dan histamin berlomba untuk menempati reseptor yang sama. Ada empat tipe reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3, dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi dan distribusi yang berbeda. Pada kulit manusia hanya reseptor H1 dan H2 yang berperan utama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah (Tjay dan Rahardja, 2007).

Histamin merupakan suatu senyawa nitrogen organik yang sering juga disebut bioamin, histamin pertama kali ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich pada tahun 1878. Histamin terlibat dalam sistem kekebalan tubuh yang mengatur fungsi system pencernaan dan juga berfungsi sebagai neurotransmitter dalam otak, sumsum tuulang belakang dan rahim. Histamin juga terlibat dalam sistem peradangan dan mempunyai peran utama sebagai mediator gatal. ( Siswandono, 2016).
Struktut Histamin

Histamin diproduksi pada keadaan normal secara alami dan berasal dari pertukaran zat histidin melalui proses dekarboksilasi secara enzimatis. Asam amino histidin akan masuk ke dalam tubuh dari makanan yang kaya akan protein dan telah dikonsumsi tubuh. Pada berbagai jaringan tubuh, terutama pada usus halus, histidin akan diubah menjadi histamin. Histamin juga bekerja sebagai neurotransmiter. Histamin memegang peran utama pada sistem peradangan atau inflamasi. Histamin terdiri atas cincin imidazol yang terlekat pada rantai entilamin. Dalam kondisi fisiologis, gugus amino di rantai samping diprotonasi. (Thurmond, 2010).

Antihistamin (antagonis histamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamin. Histamin merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. Ada empat jenis reseptor histamin, namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan endotelium. Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal mukosa lambung, otot polos, epitelium, endotelium, dan jantung. Sementara reseptor H3 dan H4 ditemukan dalam jumlah yang terbatas. Reseptor H3 terutama ditemukan pada neuron histaminergik, dan reseptor H4 ditemukan pada sum-sum tulang dan sel hematopoitik perifer. (Tjay dan ahardja, 2007).

Rumusan Masalah :
1. bagaimana interaksi obat antihisamin?
2. Bagaimana kerja obat dari antihistamin dalam mengobati reaksi alergi?
3. kenapa obat antihistamin tidak diperbolehkan diminum bersamaan dengan obat tidur?

DAFTAR PUSTAKA
Siswandono. 2016. Kimia Medisinal 2 Edisi 2. Airlangga University Press, Surabaya.
Tjay T.H dan Rahardja K. 2007. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Gramedia, Jakarta.
Thurmond R.L. 2010. Histamine in Inflammation. Springer, Texas.